Dalam kehidupan umat manusia, tanah merupakan sesuatu hal yang amat penting, dimana tanah merupakan kulit bumi yang memiliki ikatan kuat secara alami dengan kehidupan. Tanah menumbuhkan berbagai tanaman yang menghasilkan dedaunan, ranting, kulit, kayu, buah, akar dan menyimpan air dan berbagai nutrisi. Tanah juga digunakan untuk pemukiman, jalan, jambatan dan berbagai infrastruktur dan sarana dan prasarana kehidupan manusia. Luasan tanah merupakan hamparan yang dapat diperuntukkan untuk berbagai usaha-usaha ekonomi seperti perkebunan, pertanian, perikanan, pertambangan dan berbagai usaha dalam bidang jasa dan konstruksi.
Penguasaan, kepemilikan tanah menjadi penting karena tanah merupakan sumber kehidupan terlebih lagi bagi Ranah Minang Sumatera Barat, sektor ini masih memberikan kontribusi pada perekonomian. Data BPS (Badan Pusat Statistik) Sumbar triwulan I 2025 mencatat sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan ini memberikan kontribusi 22,43%, diikuti oleh sektor Perdagangan, dan reparasi mobil dan motor 16,39% transportasi dan pergudangan 10,84%. Ketiga sektor ini memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat. Nah, memperhatikan struktur perekonomian ranah minang tersebut bisa kita katakan bahwa penduduk Sumbar sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Ada hal yang menarik untuk kita cermati pada sektor ini problematika ekonomi yang dihadapi masyarakat, pada sektor kehutanan produk yang bisa diperjual belikan secara bebas oleh masyarakat hanya lah produk non kayu. Sementara Kayu dihadapkan dengan aturan pelarangan yang ketat. Sementara itu sektor perikanan nelayan dihadapkan dengan persoalan teknologi penangkatan, modal dan lain-lain. Sementara itu sektor perikanan darat, kolam dan perairan umum masyarakat di batasi oleh kelangkaan pakan, dan ketidakmandirian petani terhadap pakan.
Pada sektor pertanian ini hal yang menarik untuk kita cermati adalah kepemilikan lahan oleh petani penggarap. Sebagian besar lahan pertanian yang subur dan produktif di Sumatera Barat telah digarap oleh perusahaan-perusahaan besar nasional dan multinasional untuk perkebunan sawit dan berbagai usaha-usaha besar lainnya yang mewarisi penguasaan perusahaan Belanda atau bekas sewaan(erpach)Belanda. Sementara itu petani penggarap hanya mengolah lahan disekitar pemukiman, dibawah-bawah bukit, atau di daerah kawasan yang kemiringan sudah hampir 45 derjat. BPS mencatat dalam sensus pertanian tahun 2023 terdapat 751.789 orang petani dan 53,54% adalah petani Gurem, artinya petani yang menjalankan usaha tidak cukup pada lahan minimum untuk bertani atau jumlah orangnya berjumlah 402.524 orang petani. Ini lah salah satunya yang menjadi sumber kemiskinan dan asal penduduk miskin di Sumatera Barat. Pertanyaannya kenapa mereka miskin??..Karena mereka tidak memiliki tempat usaha yang layak untuk menghidupi kebutuhan hidupnya. Maka salah satu upaya Pemerintah adalah program Reformasi Agraria. sebagai upaya untuk memperbaiki nasib petani Gurem.
Peraturan presiden nomor 62 tahun 2023 merupakan upaya Pemerintah untuk mewujudkan cita-cita reformasi agraria (land reform) yang sejak lama sudah diagendakan dalam UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. DalamUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960), istilah“Reformasi Agraria”secara eksplisittidak disebutkan. Namun, semangat dan dasar hukumnya terkandung dalam beberapa pasal yang mengaturlandreform,redistribusi tanah, danpembatasan kepemilikan tanah.Pasal-Pasal Kunci UUPA 1960 Terkait Landreform/Reforma Agraria. Pasal 7Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Dasar pembatasan kepemilikan tanah (anti monopoli tanah).Pasal 17Menetapkan adanya batas minimum dan maksimum luas tanah pertanian yang boleh dikuasai atau dimiliki seseorang. Landreform: pembatasan tanah maksimum. Pasal 10Setiap orang/badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian wajib mengusahakan atau mengerjakannya sendiri secara aktif. Mencegah praktik tuan tanah/absentee.Pasal 56 – 58Mengatur tanah pertanian absentee (guntai) dan keharusan menyerahkan tanah ke negara jika tidak diusahakan sendiri. Bagian dari kebijakan redistribusi tanah.Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 14Negara berwenang mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah demi kepentingan rakyat banyak. Menjadi dasar redistribusi dan legalisasi aset tanah.
Land reform sebenarnya merupakan prinsip dasar kemerdekaan yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini. Proklamator RI Drs. Muhammad Hatta dalam beberapa buku yang beliau tuliskan menuliskan pokok pikiran dasar tentang Tanah. 1)Land reform adalah suatu keharusan, karena tidak boleh ada tanah yang hanya menjadi milik segelintir orang, sementara rakyat banyak tidak memiliki tanah untuk hidup. 2). demokrasi ekonomi dan pentingnya land reform agar rakyat kecil punya akses tanah. 3). Pasal 33 UUD 1945 hanya bisa dijalankan jika ada land reform, karena tanpa tanah rakyat tidak bisa hidup mandiri. 4) Ada bagian tentang fungsi tanah sebagaisumber hidup rakyatsehingga tidak boleh dimonopoli. 5) land reform adalah keharusan moral dan politik untuk keadilan sosial.
Pertanyaan kemudian kenapa struktur kepemilikan tanah di Indonesia dan Sumatera Barat menjadi tidak adil saat ini? Jawaban ini terselip di pasal 28 pasal 1) Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Dan pasal (2) Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
Pasal ini secara halus dan bersahaja memberi ruang bagi perusahaan untuk masuk menguasai tanah rakyat dan tanah yang dikuasai masyarakat adat.Pengusahaan pertanian yang melebihi luas 25 hektar harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Inilah pasal yang memberi ruang bagi HGU (Hak Guna Usaha) untuk coorporate dengan berbagai model salah satunya pintu masuk di Sumatera Barat dengan pola Inti-Plasma. Inti merupakan perusahaan dan plasma adalah masyarakat. Dari mana pola ini dimulai? Sejak ditetapkan inpres nomor 1 tahun 1986 tentang Perkebunan Inti Rakyat yang dilanjutkanPertanian No. 131/Kpts/KB.510/3/1990tentang Pedoman Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan diperkuat kembali dengan Undang-Undang nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan dan diganti dengan UU nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan di pasal 58 menyatakan “perusahaan perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat (plasma) paling sedikit 20%. Dari total luas areal perkebunan yang diusahakan.
Tingginya koptasi coorporate terhadap tanah, dan ketidakmampuan pemerintah karena alasan hukum dan faktor interest group untuk mengembalikan tanah ulayat yang telah berpindah peruntukan dari penguasaan hak adat menjadi peruntukan negara. Maka memaksa Pemerintah Daerah untuk mengusahakan sektor lain dalam menghidupkan kehidupan, penghidupan, dan sumber pekerjaan bagi rakyat. Kalau tidak maka rakyat akan tetap berada pada lingkaran setan kemiskinan. Mau tidak mau sektor manufacturing harus digalakkan oleh pemerintah dengan berbagai upaya. Salah satunya meningkatkan kualitas jalan dan jembatan sebagai mobilitas barang dan jasa dan membuka akses-akses baru bagi jalur transportasi logistik di wilayah-wilayah yang masih terisolasi di Sumatera Barat, diantaranya jalur Lubuksikaping – Padang Sawah, Jalur Kereta Api trans-Sumatera yang terhubung antar kota Padang dengan Medan, Pekan baru dan Jambi dan memperbaiki jalur Solok – Padang sebagai jalur utama logistik untuk kota Padang baik fly over maupun terowongan. Termasuk juga menetapkan kawasan industri di tiap-tiap Kabupaten dan memastikan lahan yang diperuntukan clear dan clean untuk kegiatan industri. (Yh)


