GERAKAN mahasiswa selalu dianggap sebagai “anak kandung sejarah” dalam setiap momentum besar bangsa ini. Sejak era kolonial, mahasiswa Indonesia telah mengambil peran signifikan sebagai aktor perubahan: dari pergerakan Budi Utomo, Sumpah Pemuda 1928, hingga puncaknya pada Reformasi 1998. Jalanan menjadi panggung politik mahasiswa, tempat di mana suara nurani kolektif menggugat kekuasaan yang lalim.
Namun, lebih dari dua dekade pascareformasi, pertanyaan tajam perlu diajukan: apakah gerakan mahasiswa masih relevan di era demokrasi yang semakin dikooptasi kepentingan oligarki dan kapitalisme politik? Ataukah mahasiswa kini hanya menjadi penonton pasif, sibuk dengan dunia akademik, karier pribadi, dan terjebak dalam “komodifikasi gerakan”?
Sebagai mahasiswa ilmu politik, kita tidak boleh berhenti pada glorifikasi sejarah semata. Kita perlu menganalisis ulang posisi politik mahasiswa dalam lanskap demokrasi kontemporer yang paradoks: demokrasi prosedural tetap berjalan, tetapi substansi demokrasi—yakni keadilan sosial, kesetaraan, dan kontrol rakyat atas kekuasaan—justru semakin terpinggirkan.
Jejak Historis Gerakan Mahasiswa
Sebagaimana dikatakan Daniel Dhakidae, “gerakan mahasiswa selalu menjadi cermin krisis legitimasi negara.” Artinya, setiap kali negara gagal menjalankan fungsinya, mahasiswa hadir dengan kritik tajam untuk menggugatnya. Pertanyaannya sekarang: apakah krisis legitimasi itu masih ada? Jawabannya jelas: ya, hanya bentuknya yang berbeda.
Demokrasi dan Dilema Gerakan Mahasiswa
Era demokrasi hari ini membuka ruang partisipasi politik yang luas, tetapi dalam praktiknya justru dikendalikan oleh oligarki ekonomi-politik. Partai politik tidak lagi menjadi sarana aspirasi rakyat, melainkan instrumen perebutan rente kekuasaan. Hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat diperlakukan sebagai angka elektoral, bukan subjek politik.


