BAGURAU saluang dan dendang merupakan salah satu bentuk seni tradisi Minangkabau yang sarat nilai estetika, sosial, dan filosofi hidup. Di masa lalu, pertunjukan ini hidup dalam ruang sederhana, di pondok sawah, di surau, atau di balai pertemuan kampung, tempat masyarakat berkumpul untuk melepaskan lelah sambil berbalas pantun dengan iringan tiupan saluang. Kini, seni itu telah bertransformasi, dari hiburan rakyat sederhana menjadi cermin perubahan sosial dan kebudayaan di ranah Minang.
Saluang, alat musik tiup dari bambu tipis, menghasilkan nada melankolis yang berpadu indah dengan dendang, nyanyian bernada pantun yang penuh sindiran, humor, dan pesan moral. Dalam suasana bagurau, penonton bukan sekadar menikmati hiburan, tetapi ikut terlibat secara emosional. Pantun yang dilantunkan sering berisi nasihat, sindiran sosial, atau kisah cinta rakyat biasa. Dalam satu malam pertunjukan, tawa dan renungan sering hadir bergantian.
Dulu, pemain saluang dan pendendang hampir semuanya laki-laki. Norma adat dan agama membatasi ruang perempuan dalam dunia hiburan publik. Perempuan dianggap penjaga kehormatan kaum, sehingga tampil di muka umum bisa dianggap “melanggar malu”. Dunia pertunjukan adalah milik laki-laki, tempat di mana perempuan hanya menjadi penonton atau penyimak di balik tirai.
Namun, sejak dekade 1960-an hingga 1980-an, batas itu mulai bergeser. Kondisi ekonomi yang menurun pasca pergolakan PRRI mendorong seniman untuk mencari sumber penghidupan baru. Seni bagurau yang sebelumnya hidup di pondok-pondok sawah mulai berpindah ke tempat umum, ke pasar malam, panggung kaki lima, dan kemudian ke acara-acara pesta rakyat. Dari sinilah muncul nama-nama perempuan pendendang seperti Mis Ramolai, Mel Rasani, dan Upiak Malai, pionir yang berani menembus tabu dan mengubah wajah seni dendang Minangkabau.
Perubahan ini tidak datang tanpa penolakan. Banyak kalangan adat yang menilai kehadiran perempuan di panggung sebagai bentuk pelanggaran nilai malu (rasa malu adalah konsep penting dalam adat Minang). Namun, di sisi lain, masyarakat juga melihat daya tarik baru dalam penampilan mereka. Suara lembut dan gaya bertutur perempuan menghadirkan nuansa emosional dan estetis yang memperkaya seni dendang. Bagurau saluang pun tidak lagi sekadar hiburan malam, tetapi menjadi ruang ekspresi sosial dan budaya, tempat perempuan turut bersuara tentang kehidupan, cinta, dan perjuangan.
Fenomena ini menandai perubahan mendasar dalam seni pertunjukan Minangkabau. Dari yang bersifat komunal dan ritual, ia bergeser menjadi komersial dan publik. Namun, transformasi itu tidak menghapus nilai aslinya. Justru, bagurau saluang dan dendang membuktikan kelenturan budaya Minang, bagaimana tradisi mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Kritik sosial, nasihat adat, dan kearifan lokal masih menjadi inti dari setiap dendang, hanya wadahnya yang kini lebih luas.
Kini, di tengah derasnya arus modernisasi dan digitalisasi, seni bagurau saluang dan dendang kembali mencari bentuk baru. Banyak pendendang muda yang mulai tampil di media sosial, membawakan pantun dalam format video pendek atau siaran langsung di YouTube. Iringan saluang berpadu dengan alat musik modern seperti keyboard, menciptakan nuansa baru tanpa meninggalkan akar tradisi. Beberapa radio lokal di Sumatera Barat juga rutin menyiarkan sesi basaluang langsung, yang tetap diminati oleh pendengar lintas generasi.
Seni ini membuktikan bahwa warisan budaya tidak pernah benar-benar mati, ia hanya berganti bentuk agar tetap hidup. Di balik setiap tiupan saluang, masih terpatri filosofi orang Minang, cerdas dalam bertutur, halus dalam menyindir, dan lembut dalam menasihati.
Dalam satu bait dendang, mungkin terselip kisah cinta, tapi di baliknya ada pelajaran hidup. Dalam satu pantun gurauan, mungkin terselip kritik sosial yang tajam namun santun. Itulah kekuatan bagurau saluang, seni yang tidak berteriak, tapi menggetarkan.
Pada akhirnya, dari lumbung sawah hingga panggung kota, bagurau saluang dan dendang tetap menjadi suara hati masyarakat Minangkabau. Ia tumbuh bersama zaman, namun tetap berakar pada nilai lama: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Dan selama saluang masih ditiup, selama pantun masih berdendang, selama itu pula roh kebudayaan Minang akan terus bernafas dalam harmoni yang lembut namun berdaya. (***)
Bagurau Saluang dan Dendang: Dari Lumbung Sawah ke Panggung Kota
Mahasiswa Satra Minangkabau Unand
Opini lainnya
Muhammad Marchendo Androgie
Mahasiswa, Jalanan, dan Politik: Apakah Gerakan Mahasiswa Masih Relevan di Era Demokrasi?
Mahasiswa, Jalanan, dan Politik: Apakah Gerakan Mahasiswa Masih Relevan di Era Demokrasi?

