SILEK Minangkabau bukan hanya seni bela diri, tetapi juga cara hidup. Dalam setiap gerakannya terkandung nilai, kebijaksanaan, dan filosofi yang diwariskan turun-temurun. Salah satu unsur terpenting dalam silek adalah gerakan menangkis, yang bukan sekadar teknik bertahan, melainkan cerminan dari karakter dan pandangan hidup orang Minangkabau, sabar, waspada, dan penuh perhitungan.
Menurut pendekar silek tradisional, Pak Irwan Firdaus, “Tangkisan bukan hanya teknik melindungi diri, tetapi juga ajaran untuk tetap tenang meski di bawah tekanan.” Pandangan ini menegaskan bahwa silek lebih dari sekadar pertarungan fisik, ia adalah latihan batin untuk mengendalikan diri dalam menghadapi serangan kehidupan.
Ragam Tangkisan dalam Silek
Dalam latihan silek, dikenal berbagai bentuk tangkisan, tangkisan luar, tangkisan dalam, tangkisan atas, dan tangkisan bawah.
1. Tangkisan luar digunakan untuk mengalihkan serangan dari arah samping.
2. Tangkisan dalam melindungi tubuh dari gerakan menyerang yang mengarah ke pusat tubuh.
3. Tangkisan atas menjaga kepala dan bahu dari pukulan atau sabetan senjata.
4. Sementara tangkisan bawah menangkis serangan kaki atau senjata rendah.
Namun, dalam falsafah Minangkabau, gerakan menangkis bukan tentang kekuatan, melainkan tentang keseimbangan. Ia mengajarkan untuk “membaca” arah serangan lawan sebelum bereaksi, seperti prinsip “Lambek tapi pasti, rundiang namun tuntas.” Artinya, setiap tindakan harus dilakukan dengan tenang, penuh perhitungan, namun tetap efektif.
Makna Filosofis: Tangkisan sebagai Cermin Jiwa
Gerakan menangkis juga merupakan simbol nilai kesabaran dan keharmonisan. Dalam pepatah Minang disebutkan, “Saciok bak ayam, sadanciang bak basi,” yang berarti kebersamaan dan koordinasi harus seimbang agar kuat. Dalam konteks silek, filosofi ini tampak ketika pesilat berusaha menyesuaikan gerakannya dengan lawan, tidak dengan amarah, melainkan dengan pemahaman dan strategi.
Wardi Metro, peneliti dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, menjelaskan bahwa langkah dalam silek, khususnya langkah ampek bukan hanya gerak tubuh, melainkan refleksi falsafah hidup orang Minang. “Langkah ampek bukan sekadar gerakan fisik dalam silek. Ia adalah refleksi mendalam dari falsafah hidup yang membentuk karakter orang Minang,” ujarnya.
Kini, di tengah modernisasi, gerakan menangkis tidak lagi hanya berfungsi sebagai teknik bela diri. Ia menjadi alat pendidikan karakter, terutama bagi generasi muda Minangkabau. Melalui latihan silek, mereka belajar arti disiplin, ketenangan, dan hormat terhadap guru dan tradisi.
Warda Metro menambahkan bahwa latihan silek seperti Junguik Sati dengan fokus pada gerakan menangkis berperan penting dalam menjaga identitas budaya. “Gerakan ini mengajarkan anak muda untuk tidak mudah terpancing, berpikir sebelum bertindak, dan tetap rendah hati meskipun memiliki kemampuan bertahan.”
Gerakan menangkis dalam silek Minangkabau adalah wujud konkret dari filosofi hidup masyarakatnya, tentang menjaga diri tanpa menyerang, menghadapi tantangan dengan kesabaran, dan menyelesaikan konflik dengan kebijaksanaan. Seperti dikatakan oleh Pak Irwan Firdaus, “Tangkisan adalah cara untuk tetap tenang di bawah tekanan.”
Itulah makna terdalam dari silek, membela diri tanpa kehilangan kemanusiaan.
Begini Filosofis Gerakan Menangkis dalam Silek Minangkabau
Mahasiswa Universitas Andalas Padang
Opini lainnya
Muhammad Marchendo Androgie
Mahasiswa, Jalanan, dan Politik: Apakah Gerakan Mahasiswa Masih Relevan di Era Demokrasi?
Mahasiswa, Jalanan, dan Politik: Apakah Gerakan Mahasiswa Masih Relevan di Era Demokrasi?

